Pendidikan ilmu Ekonomi Islam di Indonesia saat ini masih menemui sejumlah kendala. Demikian disampaikan Ketua Umum Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) Mustafa Edwin Nasution pada acara Seminar dan Sarasehan bertajuk "Membangun Sinergi untuk Mengembangkan Studi dan Ristek Ekonomi Islam di Perguruan Tinggi", di Jakarta Convention Centre, Jakarta, Jumat (6/2/2009).
Mustafa menilai, mengemukanan lima hal yang menjadi kendala pendidikan ilmu Ekonomi Islam di Indonesia. "Pertama, keterbatasan ahli ekonomi keuangan Islam yang menguasai secara komprehensif ekonomi keuangan dan ilmu syariah. Kedua, keterbatasan segi kurikulum pengajaran yang berbasis syariah. Ketiga, masih kurangnya buku teks tentang ekonomi Islam. Keempat, belum adanya linkage dengan lembaga keuangan Islam. Kelima, keterbatasan dana dan SDM [sumberdaya manusia] sehingga riset dan penelitian ekonomi Islam masih sangat terbatas," ujarnya.
Menurutnya, industri perbankan syariah yang ditargetkan mencapai market share lima persen menjadikan pengembangan pendidikan ekonomi Islam terpacu oleh waktu.
"Target tersebut harus didukung pula oleh SDM yang mumpuni karena itu perlu peningkatan kualitas pengajaran di lembaga pendidikan," tuturnya.
Untuk itu, lanjut Mustafa, perlu adanya forum yang lebih intensif membahas kendala-kendala tersebut. "Bank Indonesia juga mendukung workshop dan simposium, sehingga dari hasil forum bisa menjadi rekomendasi bagi Menteri Pendidikan Nasional dan Dirjen Dikti," kata Mustafa.
Ilmu ekonomi Islam telah berkembang di seluruh dunia. Sejumlah universitas di Eropa, seperti di Inggris, telah memiliki program master untuk keuangan Islam. Sementara di Asia, pendidikan ekonomi Islam telah berkembang pula di sejumla negara seperti Malaysia, Yordania, Kuwait dan Mesir.
Mustafa menilai, mengemukanan lima hal yang menjadi kendala pendidikan ilmu Ekonomi Islam di Indonesia. "Pertama, keterbatasan ahli ekonomi keuangan Islam yang menguasai secara komprehensif ekonomi keuangan dan ilmu syariah. Kedua, keterbatasan segi kurikulum pengajaran yang berbasis syariah. Ketiga, masih kurangnya buku teks tentang ekonomi Islam. Keempat, belum adanya linkage dengan lembaga keuangan Islam. Kelima, keterbatasan dana dan SDM [sumberdaya manusia] sehingga riset dan penelitian ekonomi Islam masih sangat terbatas," ujarnya.
Menurutnya, industri perbankan syariah yang ditargetkan mencapai market share lima persen menjadikan pengembangan pendidikan ekonomi Islam terpacu oleh waktu.
"Target tersebut harus didukung pula oleh SDM yang mumpuni karena itu perlu peningkatan kualitas pengajaran di lembaga pendidikan," tuturnya.
Untuk itu, lanjut Mustafa, perlu adanya forum yang lebih intensif membahas kendala-kendala tersebut. "Bank Indonesia juga mendukung workshop dan simposium, sehingga dari hasil forum bisa menjadi rekomendasi bagi Menteri Pendidikan Nasional dan Dirjen Dikti," kata Mustafa.
Ilmu ekonomi Islam telah berkembang di seluruh dunia. Sejumlah universitas di Eropa, seperti di Inggris, telah memiliki program master untuk keuangan Islam. Sementara di Asia, pendidikan ekonomi Islam telah berkembang pula di sejumla negara seperti Malaysia, Yordania, Kuwait dan Mesir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar