Selasa, 24 Maret 2009


Syariah Evaluasi Pembiayaan

KOMPAS.com - Kondisi perekonomian global turut memengaruhi perlambatan kinerja perbankan syariah dalam negeri. Untuk menekan tingginya rasio pembiayaan yang macet, kalangan perbankan syariah akan lebih berhati-hati terutama dalam membiayai usaha berskala besar.

Presiden Direktur Bank Muamalat, Riawan Amin mengatakan, tren yang terjadi sejak awal tersebut akan berpengaruh terhadap rasio pembiayaan dana pihak ketiga (financing to deposit ratio/FDR). "Kami akan berupaya menekan FDR maksimal 90 persen pada tahun 2009 terkait kondisi ekonomi saat ini," ungkapnya seusai penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dengan Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, Senin (16/3).

Selama ini, bank syariah giat menyalurkan pembiayaan bagi pelaku usaha sektor riil, tercermin dari tingginya FDR pada tahun lalu. Berdasarkan data BI, pembiayaan yang dilakukan seluruh perbankan syariah mencapai Rp 38,2 triliun.


Riawan melanjutkan, melihat kondisi saat ini, bank syariah perlu hati-hati khususnya terkait likuiditas, sehingga perlu mengerem penyaluran pembiayaan. FDR sebagian besar bank syariah lebih dari 100 persen pada tahun-tahun sebelumnya. "Melihat kondisi saat ini, sebaiknya bank syariah menekan FDR maksimal 90 persen," katanya.

Berdasarkan laporan keuangan pada 2008, rasio FDR Bank Muamalat Indonesia sebesar 104 persen. Selain itu, kata dia, perseroan berupaya menggenjot penghimpunan dana murah, dan mengerem pembiayaan hingga target FDR sebesar 90 persen tercapai.

Riawan menuturkan langkah menekan FDR juga sejalan dengan rencana perseroan menekan rasio pembiayaan bermasalah (non performing financing/NPF) pada 2009. Bank syariah ini mematok target NPF maksimal 3 persen hingga akhir tahun ini. Berdasarkan laporan kinerja keuangan pada tahun lalu, rasio FDR bank syariah pertama di Indonesia itu sebesar 3,8 persen.

Riawan mengemukakan, untuk menjaga rasio pembiayaan bermasalah, perseroan memilih fokus membiayaai pelaku usaha dengan skala usaha mengengah ke bawah atau ritel dengan pertimbangan sektor tersebut masih aman di saat krisis.

"Pembiayaannya tetap akan berbentuk modal kerja, investasi, maupun konsumsi. Pembiayaan konsumsi juga sebenarnya terkait dengan investasi dan produksi, seperti perumahan," katanya.

Di sisi lain, menurut dia, perseroan, berencana menekan penyaluran pembiayaan yang terkait dengan kegiatan ekspor-impor terkait kondisi ekonomi saat ini. Namun, dia tidak menyebutkan target komposisi pembiayaan ekspor impor dari total penyaluran pembiayaan pada tahun ini.

"Intinya ekspor impor bukan pasar Bank Muamalat. Selain itu, secara alamiah kegiatan ekspor-impor menurun akibat krisis," katanya.

Sementara itu, bisnis asuransi syariah, perkembangannya masih menjanjikan. Namun, untuk dapat berkembang lebih pesat lagi, industri asuransi berbasis syariah dituntut untuk lebih inovatif mengembangkan produk. Sama seperti perbankan syariah yang market sharenya di bawah lima persen dari perbankan nasional, asuransi berbasis syariah juga masih sangat kecil yaitu baru sekitar 2 persen.

"Di asuransi, syariahnya baru sekitar 2 persen dari total asuransi, untuk kelolaan dana asuransi life syariah Rp 2,1 triliun sementara general (umum) baru Rp 1,6 triliun," kata Muhammad Syakir Sula, Direktur PT Takaful Indonesia Asuransi Syariah yang juga Ketua Umum Islamic Insurance Society (IIS).

"Hampir semua varian produk asuransi konvensional juga ada di asuransi yang dikelola secara syariah. Syariah perlu inovasi produk, jangan cuma ikut yang konvensional ada kemudian yang syariahnya dibuat supaya ada," tambah Syakir.

Tidak ada komentar: